MAKALAH AGAMA ISLAM
TAUHID DAN PEMAHAMAN FUNGSIONAL TERHADAP
ALLAH, MANUSIA, DAN ALAM
Disusun oleh :
1.
Agung Wicaksono (
A.102.09.002 )
2.
Alwina Munajad ( A.102.09.005 )
3.
Esti Maryatun P. ( A.102.09.017 )
4.
Mega Pujiana ( A.102.09.030 )
AKADEMI ANALIS KESEHATAN
NASIONAL SURAKARTA
2013
TAUHID
A.
Pengertian
Tauhid berasal
dari kata wahhada-yuwahhidu-tawhidan yang
artinya menyatukan, mengEsakan, atau mengakui bahwa sesuatu itu satu. Yang
dimaksud dengan makna harfiah diatas adalah mengEsakan atau mengakui dan
meyakini aka keEsaan Allah SWT.
Lawan diameteral
dari tauhid adalah syirik. Yakni menyekutukan atau
membuat tandingan kepada Allah SWT. Dengan
demikian tauhid adalah mengakui dan
meyakini keEsaan Allah, dengan
membersihkan keyakinan dan pengakuan tersebut dari segala kemusyrikan.
Bertauhid kepada Allah artinya hanya mengakui hukum Allah yang memiliki kebenaran mutlak, dan hanya peraturan
Allah yang mengikat manusia secara mutlak.
Dengan demikian,
tauhid adalah esensi aqidah dan iman dalam islam. Tauhid merupakan landasan
utama dan petama keyakinan islam dan implementasi ajaran – ajarannya. Tanpa
tauhid tidak ada iman, tidak ada aqidah dan tidak ada islam dalam arti yang
sebenarnya.
Makna tauhid yang paling tegas ditunjukkan oleh
kalimat tawhid la ilaha illa Allah,yang
arti harfiahnya adalah tidak ada sesembahan ( ilah ) selain Allah, tetapi makna yang tegas dan tepat adalah tiada
sesembahan yang haq melainkan Allah.
B.
Kedudukan
dan fungsi Tauhid
Tauhid
mempunyai kedudukan dan fungsi sentral dalam kehidupan muslim. Bagi seorang
muslim tauhid menjadi dasar dalam aqidah, syariat, dan akhlak.
Sebagai
dasar dalam aqidah maksudnya seorang muslim harus percaya bahwa Allah yang Maha
Esa telah menciptakan dan menghendaki semua yang terjadi di alam ini. Allah lah
yang menciptakan para malaikat, kitab-kitab para Rasul, hari qiamat, Qodlo dan Qodar dan
semua yang ada di alam ini.
Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an :
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak
mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada
yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui
apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi
Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara
keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar(QS. al-Baqarah/2:255)
Sebagai dasar dalam
syaiat maksudnya setiap orang muslim dalam menjalankan syariat Allah ( ibadah
dan muamalah ) harus dilakukan dengan niat yang ikhlas, tidak boleh riya’. Sebagaiman
tersebut didalam al-Qur’an :
1.
Tahukan kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Maka itulah
orang yang menghardik anak yatim,
3. dan tidak
mendorong memberi makan orang miskin,
4. Maka
celakalah orang yang salat,
5. yaitu)
orang-orang yang lalai terhadap salatnya,
6. yang berbuat
riya,
7. (dan enggan (memberikan) bantuan.
Terakhir,
sebagai dasar
dalam akhlak maksudnya setiap orang muslim dalam berakhlak hendakanya berdasarkan
Allah semata.
C.
Kalimat
tauhid ( La ilaha illa Allah )
Dari
kalimat tauhid tersebut ada dua prinsip yang harus dipegang oleh seorang mukmin
atau muwahhid, sebagai rukun kalimat
tauhid, yakni adanya prinsip al-nafyu dan
prinsip al-itsbad.
1.
Prinsip
al-nafyu dan al-itsbad
Al-nafyu artinya
peniadaan, yakni penengasan tentang tidak adanya sesembahan yang haq selain
Allah. Dengan prinsip ini seorang muwahid
wajib membatalkan segala macam bentuk syirik,
dan wajib mengingkari segala praktek berketuhanan selain kepada Allah SWT.
Al-itsbad artinya
penetapan, yakni menegaskan bahwa hanya Allah lah satu -satunya sesembahan yang
haq. Dengan prinsip ini seorang muwahid
wajib megamalkan segala hal yang menjadi konsekuensi dai tauhid tersebut.
Makna dua rukun
tersebut ditegaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an seperti firman Allah SWT :
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang
tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
(Qs.al-Baqarah/2:256).
Firman Allah
“siapa yang mengingkari taghut” adalh makna dari “la ilaha “atau prinsip
al-nafyu sebagai rukun yang pertama . sedangkan firman Allah “dan beriman
kepada Allah ”merupakan makna dari rukun kedua ,yaitu “illa Allah ”sebagai
prinsip al-itsbat.
Demikian juga
firman Allah yang menggambarkan pernyatan Nabi Ibrahim kepada kaumnya :
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada
bapaknya dan kaumnya: “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa
yang kamu sembah(Qs.al-zukhruf/43:26).
Firman Allah SWT “sesungguhnya aku berlepas diri” di atas
adalah makna dari rukun pertama. Sedangkan perkataan “kecuali Allah
menjadikanku” merupakan makna al-itsbat yakni penetapan dan penegasan.
2.
Syarat
– syarat Kalimat Tauhid “La ilaha illa Allah”
Menyatakan tauhid atau
mengucapkan kalimat tauhid harus dengan syarat. Tanpa syarat – syarat tersebut
maka kalimat tauhid yang diucapkan tidak akan berarti. Karena dengan syarat-
syarat itulah seseorang yang telah mengucapkan kalimat tawgid benas – benar
menghidupkan tauhid dalam jiwanya dan memamcarkannya kepada lingkugannya, baik
lingkungan seseama manusia maupun lingkugan makhluk Allah pada umumnya.
Secara umum syarat itu ada tujuh, yaitu
:
a.
Al-‘IIm,
yang menafikan al-jahl ( kebodohan )
Artinya memeahami makna
dan maksud dan kalimat tauhid. Memahami apa yang ditiadakan ( dinafikan ) dan
apa yang ditetapkan ( diitsbatkan ), yang semua itu menafikan ketidaktahuannya
atas makna dan maksud tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT :
Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah
selain Allah tidak dapat memberi syafaat; akan tetapi (orang yang dapat memberi
syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya)(Qs.al-zukruf/43:86).
Makna dari
ayat ini adalatepkannya, h orang yang bersaksi dengan kalimat tauhid ( syahadat
tauhid ) dan memahami dengan fikiran dan nuraninya apa yang diikrarkan oleh
lisannya. Seadainya ia mengucapkannya, tetapi tidak mengerti apa maksud dan
maknanya, maka persaksiannya itu menjadi tidak sah atau tidak berarti.
b. Al - Yaqi,
yang menafikan al – syak ( keraguan )
Orang yang mengikrarkan
alimat tauhid harus meyakini kandungan kalimat tersebut. Manakala meragukannya
maka sia – sia belaka kalimat tauhid yang diikrarkannya itu. Allah berfirman :
Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak
ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah,
mereka itulah orang-orang yang benar ( QS. Al-Hujurat / 49 :15 ).
c. Al – Qabul
( menerima ),yang menafikan al – radd ( penolakan )
yakni menerima
kandungan konsekuensi dari syahadat tauhid yang diucapkan, meyembah Allah
semata dan meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya.
Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan
kepada mereka: “Laa ilaaha illallah” (Tiada Tuhan yang berhak disembah
melainkan Allah) mereka menyombongkan diri (Qs.al-shaffat/37:35).
Dan mereka berkata: “Apakah sesungguhnya kami
harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila?”( Qs.al-shaffat/37:36)
Ini seperti halnya para penyembah kuburan dan orang yang
mengkultuskan orang – orang yang dianggap suci dewasa ini . mereka selalu
mengokrarkan, la ilaha illa Allah, tapi mereka tidak mau menunggalkan
penyembahan-nya kepada kuburan dan kultus kepada para wali. Dengan
demikian mereka itu belum menerima makna la ilaha illa Allah.
d. Al-Inqiyad (
patuh ), yang menafikan al-tark ( meninggalkan )
Yakni tunduk dan patuh kepada makna dan kandungan la ilaha illa Allah, yang berarti
me-musatkan ketundukan dan kepatuhan hanya kepada Allah dank arena-Nya. Sebagaiman
firman Allah:
Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya
kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah-lah kesudahan
segala urusan(Qs.al-luqman/31:22)
Al-Urwat
al-wutsqa (tali yang kokoh) adalah la ilaha illa Allah, dan maka yuslim
wajhahu (menyerahkan diri kepada Allah) adalah al-inqiyad, yakni tunduk dan
patuh hanya kepada Allah.
e. Al-ikhlas (bersih,
suci), yang menafikan syirik dalam
amal.
Yaitu membersihkan
amalan dari segala debu-debu syirik, dengan
jalan membersihkan niat semata lillah, bebas
dari sum’ah (memperdengarkan amal kepada orang lain agar
dipuji) dan riya’ (memperlihatkan
amal kepada orang lain agar dipuji) atau sebab-sebab keduniaan lainnya.
f. Al-Shidqu (jujur),yang
menafikan al-kidzbu (dusta)
Yakni orag yang
mengucapkan kalimat taiqid dan hatinya membenarkannya. Manakala lisannya
mengucapkan, tetapi hatinya mendustakan maka adlah munafik dan pendusta agama.
Allah mengisyaratkan
kemuafikan dan ke-dustaan agama dalam firman-Nya:
Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami
beriman kepada Allah dan Hari kemudian”, padahal mereka itu sesungguhnya bukan
orang-orang yang beriman(Qs.al-Baqarah/2:8)
Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar(Qs.al-Baqarah/2:9).
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah
Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta(Qs.al-Baqarah/2:10)
g. Mahabbah (kecintaan)
yang menafikan baghdla’ (kebencian)
Yakni cinta kepada
mengucapkan kalimat tersebut dan mencintai isi kandungannya, serta mencintai
orang-orang yang mengamalkan dan komsekwen terhadap kandunga kalimat tawhid.
Orang-orang yang
bertauhad memusatkan cinta yang sesungguhnya hanya kedapa Allah, sedangkan
orang-orang musyrik menduakan cinta kepada Allah dan kepada makhluk-Nya. Ahli
tawhid mencintai makhluk Allah kaena cintanya kepada Allah. Dengan demikian
cinta kepada Allah adalah cinta pertama dan utama, yang menjadi landasan bagi
cinta kepada makhluk-Nya, seperti cinta kepada ibu bapak , keluarga dan
sebagainya.
D.
Macam
– macam tauhid
Tauhid merupakan bagian terbesar dan
terpenting dalam aqidah islam yang bersumber dari AL-Qur’an dan al-Sunnah, maka
seharusnya umat islam memahaminya dengan sesempurna mungkin, sehingga jelas
akan makna – maknanya dan dalil – dalil penunjuknya.
Dengan pemahaman yang utuh, seseorang
akan menyatu dalam satu arah, antara perkataan, pemahaman, dan perbuatannya.
Hal tersebut akan dicapai bila memperhatikan dua hal peenting berikut ini :
Pertama,
menguatakan pemahaman teoritik yang
bersumber dari dalil – dalil al-Qur’an dan al-Sunnah, serta akal yang seht=at
dan benar.
Kedua,
relasi tauhid sebagai praktek kehidupan
yang jelas dan nyata beka – bekasnya dalam sikap dan perilaku shalih yang
dimiliki oleh para hamba Allah.
Secar teoritik Qura’ni, sebagaiman
diuraikan oleh ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, tawhid dibagi dalam tiga macam, yaitu : tawhid al-rubu-biyyah, tawhid al-asma wa
al-sifat dan tawhid al –uluhiyyah.
1.
Tawhid
al-Rububiyyah
Rububiyyah berasal
dari salah satu nama Allah al-Rabb,
yang memiliki makna : Pengasuh, Penolong, Penguasa, Pendamai dan Pelindung.
Secara
syar’I bermakan iman kepada Allah
sebagai Pencipta, Penguasa, Pengatur segal urusan yang ada di alam semesta,
menghidupkan dan mematikan dan hal – hal yang termasuk perkara takqdir, dan
menetapkan hukum
alam (
sunnatullah ).
Tawhid
rububiyyah meliputi keimanan terhadpa hal – hal sebagai berikut :
a.
Iman kepada perbuatan
Allah secara umum: seperti mencipta, member rezeki, menghidupkan dan mematikan,
penguasa dan sebagainya.
b.
Iman kepada qadla dan
qadar Allah.
c.
Iman kepada keesaan
Dzat-Nya.
Al-Qur’an menegaskan akan kepastian
sifat rububiyyah Allah, yang merupakan dasar akan wajibnya ber-tawhid
rububiyyah kepada Allah.
Dengan pengertian seperti diatas,
tawhid rububiyyah mungkin saja dimiliki oleh orang – orang mukmin, dan mungkin
saja oleh orang – orang kafir. Karena tawhid rububiyyah sebenarnya, merupakan
fitrah dasar ketuhanan bagi setiap manusia. Meski seseorang menyatakan atheis (
tidak bertuhan ), Ia tetap akan merasakan adanya Sanh Supra Natural yang berada
diluar dirinya.
Mengenai ketidakmungkinan manusia
untuk mengingkari tawhid rububiyyah ini, Allah berfirman :
Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang
tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?”(QS.al-mu’min/23:86)
Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.”
atakanlah: “Maka apakah kamu tidak bertakwa?”(Qs.al-mu’min/23:87)
Bagi manusia, tauhid
rububiyyah memiliki manfaat, yakni disamping menumbuhakan keyakinan akan
keagungan dan kebesaran Allah, juga mendorong manusia untuk mempelajari kaidah
– kaidah dan hukum – hukum rububiyyah (penciptaan, pemeliharaan, dan pengaturan
Allah atas segala makhluknya).
2.
Tawhid
al-Asma wa al-Sifat
Pengertian
tawhid al-Asma wa al-Sifat adalah
penetapan dan pengakuan yang kokoh atas nama – nama dan sifat – sifat Allah
yang luhur berdasar petunjuk allah dalam al-Qur’an dan petunjuk Rasulullah SAW
dalam sunnahnya.
Para
ulama Salaf, yakni ulama yang kokoh dalam mengikuti Sunnah Rasulullah,
pandangan para sahabat dan tabiin yang shalih, menetapkan segala nama dan sifat
yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya. Tanpa melakukan ta’thil ( penolakan ),
tahrif (perubahan dan penyimpangan lafaz dan makna), tamtsil ( penyerupaan ),
dan takyif (menanya terlalu jauh tentang sifat Allah). Sebagaimana firman Allah
:
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan
bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang
ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan
jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat(Qs.al-syura/42:11)
Bagian pertama dari ayat ini laiysa kamitslihi sya’i mununjukan penolakan kepada kelompok yang
melakukan tamtsil ( penyerupaan nama dan sifat Allah ) dengan nama dan sifat
makhluk-Nya, dan takyif ( mempertanyakan terlalu jauh tentang hal – hal yang
berkaitan dengan sifat Allah ). Sedangkan bagian kedua ayat tersebut wahuwassami’ulbashrir menunujukkan
penolakan kepada golongan yang melakukan ta’thil ( yakni penolakan atas
sebagian atau keselururhan sifat Allah ), dan tahrif ( penyimpangan lafaz dan
makna atas nama – nama dan sifat Allah ).
Imam Ahmad ibnu Hanbal dan Ibnu Taimiyah berpendapat
bahwa Allah tidak boleh disifati kecuali dengan apa yang ditetapkan oleh Allah
bagi diri-nya dan sifat – sifat yang ditetapkan oleh Rasulullah bagi Allah,
serta tidak melampaui batas –batas yang ditetapkan al-Qur’an dan al-Sunnah.
a. Al-Asma
al-Husna ( Nama – nama Allah yang baik )
Allah berfiman :
Hanya milik Allah asmaulhusna, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut asmaaulhusna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang
menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan
mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan(Qs.al-a’raf/7:180)
Ayat – ayat
diatas mengandung isyarat akan hal – hal
sebagai berikut :
1) Menetapkan
nama – nama (asma) untuk Allah, sehingga barang siapa yang menfikannya berarti
ia telah menafikan apa yang telah ditetapkan oleh Allah, yang berarti juga
menentang ( kafir ) kepada ketetapan Allah SWT.
2) Bahwasanya
semua nama – nama Allah seluruhnya adalah Husna, yakni sangat baik, karena ia
mengandung makna dan sifat –sifat yang sempyrna, tanpa kekuranga, tanpa cacat
sedikitpun. Bukan sekedara nama – nama kosong tanpa makna.
3) Sesungguhnya
Allah memrintah para hamba-Nya untuk berdoa kepada Allah dengan
bertawasulkepada nama – nama-Nya tersebut. Maka ini menunjukkan keagungan dan
keistimewaan Allah kepada doa yang disertai dengan menyebut nama – nama-Nya.
4) Bahwasannya
Allah mengancan orang – orang yang ilhad ( menyompang dari kebenaran ) dalam
nama nama-Nya dan Dia akan membalas perbuatan mereka sesuai dengan kualitas
perbuatannya.
b. Sifat – sifat Allah
Dalam
al-Qur’an sangat banyak disebutkan sifat – sifat Allah, sehingga tidak dapat
ditentukan jumlahnya. Kalau dalam beberapa Kitab Iman dan Kitab Ilmu Kalam
disebutkan sifat – sifat wajib bagi Allah ada13 macam atau ada yang menyebutkan
20 sifat, maka hal itu hanya hasil ihtihaj para ulama untuk memudahkan umat
islam untuk memahaminya. Nanum jumlah tersebut tidak bersifat pasti.
Sifat-sifat
Allah yang banyak jumlahnya itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu sifat dzatiyah dan sifat fi`liyyah.
sifat
dzatiyah yaitu sifat yang senantiasa melekat pada
Dzat-Nya, tidak terpisah dari Dzat-Nya, seperti al-`ilm (ilmu), al-qudrah (kuasa), al-sam`u (mendengar), al-bashr
(melihat), al-izzah (kemulia), al-hokmah (hikmah), al-`azhamah (keagungan), al-ma`iyyah
(kebersamaan), al-hubb (cinta), al-ridha dan sebagainya.
Sebagai contoh ayat ayat tentang sifat dzatiyah adalah:
Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat(Qs.al-nisa/4:58)
Pendengaran Allah dapat
menangkap semua suara, baik keras maupun pelan, bahkan mampu mendengar suara
hati. Pendengarannya mampu menangkap dan mampu mengklasifikasi seluruh suara
yang terbahasakan dan tak terbahasakan. Tidak ada yang mampu mengganggu
ketajaman pendengarannya. Begitu juga penglihatannya. Tiada yang dapat mengganggu
dan menutupi penglihatannya.
Ilmu
yang meliputi yang ghaib, yaitu segala sesuatu yangf tidak diketahui langsung
oleh manusia, tetapi Allah mengetahuinya. Juga meliputi yang syahadah (nyata), yakni segala sesuatu
yang dapat disaksikan secara langsung oleh manusia (empiris,rasional, dan
eksperimental).
Sedangkan sifat fi'liyyah, yaitu
sifat yang diperbuat Allah jika Ia berkehendak. Seperti bersemayam di Arsy,
turun ke langit dunia di sepertiga akhir malam. Untuk menjawab doa-doa orang
yang melakuka shalat dimalam dan datang pada hari kiamat.
Diantara ayat-ayat yang mengandung
sifat-sifat fi’liyyah Allah adalah :
(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di
atas ‘Arsy (Qs.Thaha/20:5)
Dengan diulangnya
lafaz isytawa di tujuh tempat diatas menunjukan bahwa isytawa harus
dimaknao sebagai makna hakiikinya.
Menurut Ibnu Qayyim Al-jauziyyah,isytawa
memiliki empat makna,yaitu Irtifa (tinggi),’uluw (luhur), shu’ud (naik)istiqrar
(menetap dan bertahta).
Sedangkan arsy secara lughawi
artinya singgasana untuk raja. Sedangkan yang dimaksud arsy pada ayat-ayat
tersebut adalah singgasana Allah yang mempunyai beberapa kaki yang dipikul oleh
malaikat , ia merpakan atap bagi semua mahluk . bersemayamnya Allah diatas Arsy
–Nya sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya . kita tidak mengetahui dan
mempertanyakan kaifiyyah (cara)-Nya , sebagai kaifiyyah sifat-sifat-Nya yang lainya .
Namun kita hanya meyakini dan
menetapkannya sebagaimana ditunjukan oleh al-Quran dan al Sunah.
3.
Tawhid
Uluhiyyah
Uluhiyyah bersal dari kata
al-llah yang artinya sesuatau yang
disembah (sesembahan)dan sesuatu yang ditaati secara mutlak. Dan kata llah ini
diperuntukan bagi sebuatan sesembahan yang benar (haqq),misalnya firman Allah
taala :
Allah tiada ilah (sesembahan yang
benar)melainkan Dia yang maha hidup dan maha mandiri”. Juga diperuntukan bagi
sesembahan yang batil ,sebagaiman firman Allah
:
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya(Qs.al-Imran /3:2)
Kemudian makna ilah lebih dominan
sesembahan yang haq ,yakni Allah SWT. Tauhid uluhiyyah mengandung makna
pokok yakni al-ibadah (penyembahan) an
thaat (ketaatan) hanya kepada Allah .
Makna tersebut berarti memusatkan
penyembahan dan ketaatan hanya kepada Allah . yakni mentauhidkan Allah dengan seluruh
perbuatan,seperti shalat,puasa,zakat,haji,kurban(menyembelih binatamg
),nadzar,rasa takut ,rasa berharap,cinta,dengan makna bahwa kita mengerjakan
semuanya sebagai ketaatan kepada Allah , dan mencari ridho-Nya . kita tunduk
kepada Allah dengan menjalankan perbuatan yang diperintahkan dan meninggalkan
perbuatan yang dilarang.
Tawhid uluhiyyah tidak akan wujud kecuali dengan dua
dasar sebagai berikut :
a. Menjalankan
semua macam ibadah h Tanya kepada Allah bukan kepada yang lain.
b. Ibjalan yang dijalankan harus sesuai dengan perintah
dan larangan Allah .
Dua
dasar itu dilaksanakan dengan ikhlas ,dan terus menerus sebaga konmsekwensi
logis dari kalimat syahadat :Asyahadu anla ilaha illa Allah wa anna Muhammadan
Rasulullah.
Tidak ada ibadah dan ketaatan melainkan kepada Allah, dan tiada jalan untuk itu melainkan Rasulullah SAW . dan jalan yang
dilalui selain jalan Rasulullah ,tidak akan mengantarkannya kepada sesuatu yang
dituju.
Tawhid
uluhiyyah merupakan tema pokok dan inti
dakwah para rasul Allah ,sejak Adam AS hingga Muhammad SAW ,Allah berfirman :
Dan sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah
Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada
orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya
orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka
berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang mendustakan (rasul-rasul)(Qs.al-nahl/26:36)
Dalam
islam tawhid uluhiyyah merupakan
prasarat setiap orang yang akan memeluknya . dan kandungan tawhid
uluhiyyah ini ter Dapat pada dua kalimat syahadat yang menjadi tanda seseorang
menjadi muslim .
Dengan
logika diatas ,maka tawhid uluhiyyah merupakan bagian yang terbesar ,terpenting
dan tertinggi dari berbagai macam tawhid yang ada (tawhid rububiyyah ,alau
tawhid utawhid asma wasifat dan tawhid
uluhiyyah)
Kalau
tawhid al-rububiyyah lebih terkait dengan af’aldan prinsip tadlamuniyyah.
al-llah (prbuatan tuhan ),seperti mencipta
,memelihara,mengatur segal mehluk-Nya ,dan bagi para hamba dituntut untuk
meyakini-Nya ,dan menggali kaidah-kaidah dan hukum penciptaan ,pemeliharan dan
pengaturan alam tersebut,untuk keperluan hidupnya di dunia. Sedangkan al-asma
wa al sifat untuk membangun keyakinan dan pemahaman yang terkait dengan
komunikasi T uhan dengan hambanya ,juga membangun kedekatan hamba dengan
Tuhannnay ,dengan jalan memanggil Allah dengan nama-nama-nya yang indah ,dan tumbuh rasa selalau bersama
danm diawasi,diasuh dan dibimbingoleh allh SWT.
Adapun
tawhid al-uluhiyyah adalah yang terkait dengan af’al-al-ibad (perbuatan
hamba)sebagai realisasi tegaknya tawhid rububiyyah dan al-asma wa al- sifat
dalam peri kehidupan hamba,baik dalam iman,ibadah,mu’amalah maupun ahlak ,yang
sesuai denagan ketetapan Allah dan Rasullullah dalam al-Quran dan al-sunnah.
Dari
pemikiran diatas dapat sdisimpukan bahwa tawhid al-rububiyyah menuntut adanya
tawhid al-asmawa alsifat dan tawhid al-uluhiyyah .tauhid al-uluhiyyah pun harus
dilandasi oleh tauhid al-rububiyyah dan tauhid alasma wa al-sifat.inilah yang
disebut dengan prnsip talazumiyyah
Prinsip
talazumiyyah (kelaziman dan keharusan)mengatakan bahwa tauhid al-rububiyyah dan
tauhid al-asma wa al-sifat mengharuskan adanya tauhid al-uluhiyyah sebagai
manifestasi dan realisasi tawhid dalam perikehidupan sedangkan prinsip
tadlamuniyyah (keterkandungan dan
ketercakupan ) mengatakan bahwa tegaknya
tauhid al-uluhiyyah harus didasari dan diisi oleh tauhid al-rububiyyah
dan tauhid al-asma wa al-sifat.
E.
AL-Qur’an
tentang konsep tauhid
1.
Sebenarnya seluruh
isi al-qur’an adalah tauhid dan berikut ini adalah beberapa ayat yang membahas
tentang tauhid
Surat An-Nahl ayat
36
yang
artinya :“Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul kepada tiap umat (untuk
menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah tagut!” Lalu, di antara umat
itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula orang-orang
yang telah dipastikan sesat. Oleh karena itu, berjalanlah kamu di muka bumi dan
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul).”
Surat Al- Hasyr
ayat 24
“Dialah Allah
yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa. Hanya bagi Dialah
‘asmaul husna”.
2.
Islam sebagai wahyu
Al Qur'an adalah wahyu Allah, sehingga ajaran Islam
sepenuhnya adalah dari Allah SWT.
Islam sebagai wahyu:
Islam sangat sesuai
dengan manusia, karena sumber Islam dan yang menciptakan manusia adalah Allah
SWT. Allah yang menciptakan manusia pasti tahu dan mengenal siapa itu manusia,
dan mengetahui apa yang ia butuhkan, termasuk tahu apa tujuan diciptakannya
manusia. Sedangkan manusia, belum tentu mengenal secara sempurna siapa manusia
itu sendiri. Selain itu, karena sumber Islam adalah dari Allah SWT, maka tidak
ada keraguan lagi dalam beragama Islam. Tidak ada ketimpangan di dalamnya,
sehingga tidak membuat kita bingung sebagaimana dalam agama atau paham lainnya.
F.
Hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia, dan alam
1.
Hubungan
manusia dengan Tuhan
Hablun
min Allah(Hidup Keberagamaan)
Hidup keberagamaan adalah
manifestasi nyata dari kemestian eksistensi dan kehadiran manusia sebagai
ciptaan Tuhan. Dalam keberagamaan, manusia menyatakan sifat kemakhlukannya yang
selalu membutuhkan dan tergantung pada al-khaliq, yang terwujud dalam sikap
aslama, yaitu penyerahan dan pemasraan diri kepada Tuhan.
Kepasrahan pada dasarnya merupakan
inti atau ruh, bukan saja bagi hidup keberagamaan, melainkan juga bagi hakikat
keberadaan manusia. Oleh karena itu, hubungan dengan Tuhan tidak bisa sekadar
dilakukan dengan cara ritual yang bersifat formal dan memenuhi rutinitas,
sementara kering dari pemahaman dan penghayatan atau substansi ritual itu
sendiri.
Hubungan dengan Tuhan harus
dimaknai sebagai proses sadar untuk pembentukan kepribadian dan pemupukan kualitas diri. Hubungan keberagamaan demikian itulah yang
mampu mengantarkan pelakunya ke arah
peningkatan kesadaran kebertuhanan, bahwa tidak ada Tuhan yang layak diabdi
kecuali Allah (la ilaha illa-Allah). Inilah inti tauhid.
Tauhid mengajarkan bahwa meskipun Tuhan itu unik (arti
keesaan), tetapi Dia Maha Hadir dan Maha Dekat dengan kehidupan manusia. Paham
ini berlawanan dengan teologi di luar Islam yang beranggapan bahwa hubungan
manusia dengan Tuhan begitu jauh dan sulit dijangkau. Akibat keyakinan ini,
maka untuk bisa berhubungan dengan Tuhan, manusia membutuhkan mediator berupa
berbagai macam objek “sesembahan” perantara, berupa berhala, benda-benda fisik,
atau representasi
Tuhan
sebagai Andad (tandingan-tandingan). Tujuannya agar perantara itu bisa
mendekatkan manusia dengan Tuhan. Al-Qur’an melaporkan ketika orang-orang Arab
pra-Islam ditanya mengapa dalam hubungannya dengan Tuhan menggunakan perantara,
mereka menjawab, “Kami menyembah berhala – berhala itu dengan harapan
mereka dapat mendekatkan atau memperpendek jarak hubungan kami dengan
Tuhan” (al-Zumar: 3).
2.
Hubungan
manusia dengan manusia
Hablun
min al-Nas (Kebersamaan):
Kelanjutan logis dari keyakinan pada
keesaan Allah adalah paham persamaan manusia. Pandangan pertama
yang melandasi hubungan antarmanusia dalam pandangan tauhid adalam manusia
berasal dari umat yang sama, mempunyai kedudukan yang sama, dan tanggung jawab
kosmik yang sama pula. Akan tetapi, dibalik gagasan tentang kesatuan umat
manusia itu, Islam tidak mengecilkan arti dan bahkan mengakui kenyataan
eksistensial pluralitas umat manusia.
Umat manusia adalah satu sekaligus
majemuk, satu dalam keberagamaan dan beraneka dalam kesatuan. Perhatikan ayat
popular berikut, “Hai manusia ! Kami ciptakan kamu laki-laki dan perempuan,
Kami jadikan kamu berbagai suku dan bangsa supaya kamu saling mengenal.
Sungguh, orang yang paling mulia di antara kamu adalah kamu yang bertaqwa”
(al-Hujurat: 43).
Islam memposisikan harkat dan martabat
manusia dalam kedudukan yang sama dan setara untuk semua. Tanpa kesetaraan,
fungsi dan tanggung jawab kosmik manusia akan terganggu dan mengalami penyelewengan.
Allah mengajarkan, untuk memperkuat martabat kemanusiaannya, manusia dianjurkan
untuk
menjalin hubungan tali persaudaraan dan komunikasi dengan sesamanya. Sifat
hubungan ini didasarkan pada komitmen kemanusiaan, bukan karena kepentingan
yang lebih bertendensi duniawi. Sebab al-Qur’an melarang secara tegas hubungan
sesama manusia secara hirarkis dan vertikal lantaran hubungan semacam ini bakal
menimbulkan ekses-ekses negatif bagi kemanusiaan.
3.
Hubungan
manusia dengan alam
Hablun
min al-‘Alam(Kemitraan):
Pemahaman tentang hidup kebersamaan dengan manusia lain
membawa kita pada pemahaman yang lebih baik tentang eksistensi alam, yang
keduanya merupakan pangkal tolak dalam memahami konsep dasar dan tujuan
pendidikan agama.
Filsafat tentang alam dan manusia dalam Islam didasarkan pada asas
ketuhanan yang fungsional, dalam arti bahwa Allah adalah Rabb dan Khaliq;
Rabb al- ‘Alamin, Kholaq al-Insan. Keyakinan hanya ada satu Rabb yang mencipta,
mengatur, dan memelihara alam semesta (tauhid rububiyah) sekaligus meyakini
akan kesatuan alam, keteraturan dan keharmonisan alam dengan pelbagai hukum
yang mengaturnya dan diikat dengan satu hukum tertinggi dari Yang Maha
Pengatur.
Kata lain yang digunakan al-Qur’an untuk
menyampaikan gagasan tentang tujuan Tuhan dalam penciptaan ini adalah bi
al-Haq, kata ini menjelaskan dengan tepat bahwa alam ini diciptakan dengan
benar, bertujuan, penuh makna, melalui mekanisme yang aktual, tidak sia-sia dan
bukan diciptakan dengan main-main. Tujuan dasar penciptaan alam adalah sebagai
sumber pelajaran (ayat) bagi manusia untuk mengetahui dan mengagungkan Tuhan.
Sebuah hadits qudsi menyebutkan, “Sebelum penciptaan Aku sendirian. Aku ingin
diketahui maka Aku pun menciptakan alam semesta”. Menurut hadits ini, manusia
dapat mengetahui Tuhan melalui pengetahuannya mengenai alam. Kemungkinan ini
merupakan
konsekuensi dari fakta bahwa alam, melalui penciptaan Tuhan, memanifestasikan (tajalli)
nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang bisa diketahui oleh manusia.
Dipandang dari penciptaan ini, hubungan
manusia dengan alam pada hakikatnya adalah hubungan sebagai sesama ciptaan
(kemitraan). Antara alam dan manusia ada dalam posisi yang sama sebagai ciptaan
(makhluk) Tuhan. Hanya saja, manusia diberi konsesi-konsesi khusus dalam
berhubungan dengan alam. Konsep yang terkenal mengenai pola hubungan ini adalah
taskhir, yaitu alam disediakan dan diperuntukan bagi manusia. Namun
demikian, hubungan yang dikendaki tidak dalam pengertian hirarki, ada yang
rendah dan direndahkan. Hubungan manusia dengan alam adalah hubungan mengelola,
memakmurkan, melestarikan, dan memanfaatkan sebaik-baiknya. Hubungan ini mengharuskan
pengetahuan yang memadai sehingga alam ini memberikan kontribusi terhadap
pemenuhan
kebutuhan manusia. Dalam konteks inilah, manusia diperintahkan untuk bertindak
sesuai dengan aturan moral, bahwa alam ini bukan sesuatu yang siap dipakai (ready
to use), sesuatu yang terlebih dahulu dipersiapkan untuk manusia.
Sebaliknya, pemanfaatan alam ini di samping untuk kepentingan jangka panjang,
juga membutuhkan pengetahuan mengenai cara kerja dan aturan-aturan
yang
ada di dalamnya. Kenyataan bahwa alam adalah karya Tuhan menuntut manusia untuk
menyelidiki dan memahami pola dan tata kerja Tuhan dalam alam. The words of
God can’t contradict the work of God (firman Tuhan dalam al-Qur’an
tidak mungkin bertentangan dengan karya Tuhan yakni alam semesta).
0 komentar: